“Oooh…itu Bu, gang di depan belok kanan. Tempatnya ada di sebelah kanan. Nggak jauh ko Bu,”kata tukang bakso pada saya. Lalu, sayapun meminta tukang ojek melanjutkan perjalanan, mengikuti rute yang diberikan oleh tukang bakso tadi. Benar saja, tempatnya tidak jauh dari tempat saya bertanya tadi. Setelah melihat sekeliling, saya menelusuri gang sempit. Dan, tibalah saya di sebuah rumah sederhana. Saya tidak pernah menyangka di rumah sederhana inilah lahir karya seni bernilai tinggi, dikenal dikancah Internasional. Karya seni yang menggambarkan sebuah peradaban masa lalu tapi dengan bungkus modern. Karya seni yang kental dengan filosofi dan tradisi, dan masyarakat bangsa ini mengenalnya dengan sebutan “BATIK”.
Adapun keperluan saya datang ketempat ini ingin membeli beberapa lembar kain batik. Sebenarnya saya cukup banyak memiliki batik tapi semuanya berciri khas Jawa. Sedangkan di tempat ini—yang akhirnya saya tahu bernama “Batik Terogong”dijual batik Betawi. Batik Terogong bukan merupakan jenis batik seperti batik lainnya. Dinamakan batik Terogong karena tempat ini berada di daerah Terogong, sebuah wilayah di Kelurahan Cilandak – Jakarta Selatan.
Pemilik Batik Terogong sendiri adalah Ibu Siti Laela, biasa dipanggil Bu Lela. Sebenarnya apa yang dilakukan Bu Lela menjadi bagian dari pelestarian batik, khususnya batik Betawi. Terus terang, saya sangat miris mengetahui keberadaan batik Betawi. Bukan dari sisi peminat tapi lebih pada pelestari. Bu Lela salah satu dari warga Jakarta—sebut Betawi yang masih konsisten dengan batik Betawi.
Di gang sempit di tengah himpitan gedung menjulang, batik Betawi masih bisa lahir. Warna mencolok, motif ondel-ondel, pucuk rebung, beras tumpah dan tari yapong melintas bisu. Bisu karena sedikit sekali orang yang mengajaknya bicara. Semua motif itu benar-benar terdiam, kalah oleh corong mode dari berbagai Negara. Sungguh, tak pantas rasanya kita membiarkan warisan teronggok kehilangan selera seninya. Apa yang salah dan siapa yang salah ? Dua pertanyaan ini mencuat dari hati yang paling dalam, untuk selanjutnya berpikir keras bagaimana cara mengembalikan geliat batik Betawi di tanah leluhurnya ini.
Lahir Dari Sebuah Tradisi
Jika kita mendengar kata ‘batik’ pasti yang terlintas pertama kali di pikiran adalah tanah Jawa. Di tanah Jawa sendiri ada tiga kota yang terkenal dengan batiknya, Jogja, Solo dan Pekalongan. Saya sendiri pernah beberapa kali mengunjungi sentra-sentra batik di tiga kota tersebut.
Sebagaimana kita ketahui, selain Jawa beberapa daerah di Nusantara juga memiliki batik. Sebut saja, ada batik Palembang, batik Nias, batik Cirebon, batik Bali, batik Papua, batik Jambi, batik Kalimantan, batik Betawi dan lainnya. Masing-masing daerah pasti menyimpan sejarah yang panjang tentang batik. Itulah sebabnya batik Indonesia layak terkenal di kancah International.
Bicara soal tradisi, pastinya tidak terlepas dari martabat dan harga diri. Siapa sih orang yang tidak terusik jika harga dirinya diganggu. Oleh karena itu kita harus pandai-pandai menjaga martabat yang lahir dari sebuah tradisi, tanpa kecuali batik. Ya, batik memang sarat dengan tradisi karena hanya dipakai pada saat acara yang berbau adat istiadat saja. Orang memakai batik jika ada acara khusus. Sampai sekarang pun kita masih dengar orang berkata,”Mau kondangan ya ? ketika melihat kita berbatik.
Simbol lain yang menandakan batik lahir dari sebuah tradisi bisa dilihat dari motifnya. Kalau diperhatikan, motif yang tergores pada lembaran kain menjadi cerita sejarah dalam kurun waktu tertentu. Perjalanan sebuah tradisi mulai dari menikah, lahir dan mati semua tergambar dalam batik. Tanpa disadari, batik juga menemani perjalanan manusia. Ketika menikah, batik menjadi kain pelengkap busana. Ketika lahir, batik menjadi alat bedong dan gendong bayi, terakhir ketika mati batik manjadi penutup jenazah.
Belum lagi gambaran alam berikut manusia di dalamnya. Saya rasa itulah yang menjadikan batik Indonesia unik dan memiliki ciri khas. Sebuah perayaan adat istiadat yang tidak terjadi di negara lain selain Indonesia.
Rasanya hampir sebagian besar masyarakat Indonesia tahu, bahwa batik merupakan tradisi yang diwariskan leluhur bangsa ini. Kita juga tahu makna warisan begitu berarti, bahwa kita harus memiliki tanggung jawab, untuk menjaga dan melestarikan.
Secara sederhana saya gambarkan begini, misalnya kita diwariskan rumah oleh orang tua. Maka sebagai ahli waris tentu saja kita harus bisa menjaga, merawat bahkan melestarikannya. Bentuk menjaga, merawat dan melestarikan bisa bermacam-macam. Begitu pula dengan batik yang sudah menjadi warisan dari para leluhur bangsa ini. Salah satu contoh melestarikan batik seperti yang sudah dilakukankan oleh Bu Lela, dengan batik Betawinya.
Hingga akhirnya warisan itu sampai juga waktunya pada generasi sekarang. Generasi yang nota bene tengah disibukkan oleh dunia internet dan gawai. Dunia yang penuh dengan hingar bingar kemajuan mode dan segala tetek bengeknya. Sejatinya kondisi seperti ini tidak membuat kita lengah untuk tetap menjaga batik sebagai warisan. Sehingga dengan begitu batik tidak akan mengalami degradasi nilai, baik dari segi ekonomi maupun tradisi.
Jika semua permasalahan itu sudah bisa teratasi, maka kita hanya tinggal memikirkan untuk berinovasi. Sehingga, batik tidak akan diklaim lagi oleh bangsa manapun di dunia ini seperti yang pernah terjadi beberapa waktu lalu. Tanamkan kuat-kuat kecintaan dan kebanggan pada batik. Entah dengan memakai, memiliki, memproduksi, menjual, menceritakan, mengabarkan, membagikan sebagai hadiah atau cindera mata dan seterusnya. Saya sendiri telah melakukan semua hal itu, kecuali memproduksinya. Akhir-akhir ini sempet juga sih kepikiran ingin memproduksi dengan memberdayakan kaum perempuan di sekitar rumah. Semoga terlaksana ya…
Dengan kata lain, mempertahankan batik sama dengan mempertahankan tradisi. Inilah yang tidak boleh dilupakan atau terlupakan oleh seluruh masyarakat. Sadar dan ingin selalu mempertahankan batik meskipun arus mode begitu deras. Perlu kesadaran tinggi dalam memaknai bahwa batik bukan soal lembaran kain biasa, banyak filosofi yang terkandung di dalamnya. Batik itu sendiri juga menjadi simbol kebudayaan yang bernilai tinggi.
Apa yang dilakukan oleh pemerintah dengan mendapatkan hak paten batik dari UNESCO pada 2 Oktober 2009 belum dirasa cukup. Menurut saya, semua elemen bangsa harus tetap mewaspadai adanya keinginan negara lain untuk mengklaim atau bahkan mencurinya.
Ingat, mencuri batik berarti mencuri warisan leluhur… ! Dan kita tidak boleh tinggal diam.
Jika hal ini sampai terjadi tidak menutup kemungkinan, budaya bangsa ini perlahan akan punah. Kita semua pasti tidak ingin ini terjadi, karena jika tidak apalagi yang akan kita wariskan buat anak cucu nanti. Bahkan Direktur UNESCO untuk Indonesia, Prof. Dr. Hubert Gijzen pernah mengatakan bahwa batik Indonesia sarat dengan budaya. Unik, special dan mempunyai sejarah panjang, berbeda dengan batik dari Negara lain. Makanya tidak heran kalau batik Indonesia terkenal di seluruh dunia, karena ciri khasnya.
Apabila kita amati hanya batik, satu-satunya budaya asli Indonesia yang dapat dengan mudah melanglang ke dunia Internasional. Seperti misalnya beberapa artis terkenal bertaraf Internasionalpun kerap menggunakan batik Indonesia. Bukan apa-apa, batik bukan seperti candi Borobudur atau Komodo yang tetap diam di tempat. Batik adalah contoh nyata, warisan tradisi yang tidak cuma bisa dilihat dan didengar saja. Batik bisa menjadikan orang yang memakainya punya kebanggaan dan kesan tersendiri.
Jatidiri Bangsa
Beberapa puluh tahun silam, dalam hal busana Indonesia dikenal dengan kebaya yang dipakai oleh wanita dan peci dipakai laki-laki. Keduanya menjadi ciri khas bangsa Indonesia, semua penghuni dunia tau dengan busana tersebut. Seiring dengan perjalanan waktu kedua identitas itu luntur berganti dengan batik. Saya pernah mengalaminya beberapa kali saat berkunjung ke Negara lain dengan memakai batik. Mereka dengan yakin menyapa saya,”Are you from Indonesia ? Dan saya pun membalasnya lebih yakin lagi,”Yes, I am from Indonesia.”
Ada rasa bangga membuncah dalam sanubari, ketika mereka tahu saya dari Indonesia hanya karena memakai batik. Bahkan pada perhelatan Olympiade yang baru saja usai, kontingen Indonesia memakai baju seragam batik. Yup, batik sudah menjadi identitas bangsa Indonesia, cerminan jatidiri bangsa. Saya bangga memilikinya, karena batik bisa memancarkan kewibawaan pemakainya.
Batik dan Masa Depan
Ketenaran batik di dunia Internasional sudah tidak diragukan lagi, namun seperti kata pepatah “Semakin berada di puncak semakin kencang angin menerpa”. Pepatah ini harus selalu diingat semata-mata agar kita tidak lengah dengan posisi. Begitu pula batik Indonesia, meskipun hingar bingarnya terdengar di seantero jagat tetap harus selalu melakukan perbaikan dan inovasi.
Saya bukan pengamat batik atau kolektor, tapi sebagai individu yang mendapat warisan batik, saya juga harus ikut andil dalam pelestariannya. Meskipun saya sendiri belum tahu mau mulai dari mana. Sampai akhirnya saya ingin mencurahkan sedikit pemikiran lewat tulisan saya ini. Harapan saya, semoga curahan saya, mendapat tanggapan atau minimal ada yang menindak lanjutinya. Bagi saya, batik memiliki masa depan yang sangat cerah baik dari skala nasional maupun Internasional. Berikut beberapa uneg-uneg saya tentang batik yang menurut saya perlu perubahan :
- Jadikan batik sebagai pakaian sehari-hari
Jujur saja, hampir setiap hari saya pakai batik meskipun itu cuma daster, tapi bukan berarti batik jadi turun pamornya loh. Dalam kaitan ini saya mau mengkomentari soal pakaian batik yang hanya dipakai pada waktu tertentu saja. Atau hanya pada saat ada acara resmi, padahal toh seandainya setiap hari orang memakai batik akan dapat lebih mempopulerkan batik. Emang sih nggak harus setiap hari, tapi minimal pakai batiknya lebih banyak dari pakaian konvensional. Contohnya saja, anak sekolah pakai baju batik hanya sehari atau pegawai kantoran pakai batiknya hanya pada hari Jum’at saja. Sejauh ini, begitulah yang masih saya lihat, bukankah memakai batik setiap hari bisa menambah rasa bangga ? Kesimpulannya, saya bangga memakai daster batik, gimana dengan kamu ?
- Pakai batik bukan hanya acara resmi saja
Seperti yang sudah saya bilang di atas, orang akan selalu bertanya,“Mau kondangan ya ? ketika melihat kita memakai batik. Padahal nggak selalu orang memakai batik itu datang kondangan. Makanya saya sering bingung sendiri, kenapa sih image orang seperti itu ? Kesannya kalau saya pakai batik pasti mau kondangan, padahal saya sering pakai batik untuk menghadiri acara pertemuan biasa.
Misalnya untuk ngopi sama temen, reuni, arisan atau undangan lain selain kondangan. Nah, menurut saya image seperti ini harus dibuang, karena mengesankan batik menjadi busana orang kondangan. Sedangkan kebanyakan orang yang datang kondangan usianya sudah tua-tua. Makin lama, akan timbul kesan batik hanya buat orang tua saja. Hal ini juga yang membuat banyak anak muda enggan memakai batik, karena kesan tua atau dewasa. Untungnya sekarang, banyak perancang Indonesia—sebut saja Iwan Tirta yang sudah memfokuskan diri merancang batik. Dari tangan perancang inilah muncul beberapa model batik yang nampak lebih chic ketimbang tua.
- Menggerakkan masyarakat dengan pelatihan membatik
Waktu saya berkunjung ke Kampung Batik Terogong, sang pemilik yang diwakili oleh staffnya sempet bercerita kepada saya. Awal mulanya terpikat pada batik, karena ada pelatihan dari instansi setempat selama 3 bulan dan tanpa biaya. Sejak itulah beliau mulai menekuni seni membatik sampai pada taraf ahli membatik. Karena beliau orang betawi asli maka batik Betawi menjadi pilihannya. Sampai akhirnya batik Betawi yang dimilikinya kesohor dan menjadi cikal bakal berdirinya Kampung Batik Terogong.
Sayang seribu sayang, minat membatik dari orang sekitar tempat tinggalnya rendah, entah apa sebabnya. Padahal dari segi ekonomi kegiatan membatik bisa dikatakan lumayanlah, buat skala ibu rumah tangga. Dari cerita ini saya berkesimpulan, bahwa sudah saatnya kegiatan membatik harus digalakkan secara kontinyu dan tidak berhenti di tengah jalan. Masih cerita Bu Lela, banyak manfaat dari kegiatan membatik seperti mengurangi stress, mengisi waktu luang dan melatih kesabaran.
- Museum Batik
Pernah mendengar museum batik ? Hampir di tiap kota besar ada museum batik, tapi saya ko merasa janggal ya dengan sebutan museum batik. Sependek pengetahuan saya tentang museum, sebagai tempat untuk menyimpan barang-barang yang sudah langka atau usang. Nah, coba deh apa yang terlintas dalam pikiran kita ketika batik harus dimuseumkan. Saya beranggapan bahwa batik bukan barang langka apalagi usang. Buktinya batik masih ada sampai sekarang dan beredar ke mana-mana termasuk ke mancanegara. Kesan yang ditangkap tentu saja berkonotasi negatif, bahwa batik sudah menjadi barang langka. Yang saya takutkan, image tersebut disalah artikan oleh negara lain untuk mengklaim kembali batik Indonesia.
Jadi, saya hanya berharap bahwa semoga ada masyarakat atau orang yang berpikiran sama dengan saya. Dan, apa yang saya pikirkan itu bisa ditelaah kembali benar dan salahnya. Karena sekali lagi, saya bukan pakar batik ataupun kolektor batik. Hanya saja setelah saya pikirkan begitu adanya yang berdampak pada kesan negatif tentang batik. Batik menjadi warisan iya, tapi bukan berarti warisan harus dimuseumkan. Justru sebaliknya, batik harus ditonjolkan dan diangkat karena telah menjadi identitas bangsa dalam berbusana. Saran saya kalimat ‘galeri batik’ jauh lebih keren ketimbang museum. Iya nggak sih ?
- Bikin event batik sebanyak-banyaknya
Masih dalam rangka kunjungan ke Kampung Batik Terogong, saya sempatkan melihat hasil batik Betawi yang tertata rapi dalam lemari kaca. Lalu, dengan seijin pemilik saya mengambil foto dari koleksi batik tersebut. Saya tanya pada staff soal pemasaran batiknya, jawabannya sangat sederhana dari mulut ke mulut atau dari pameran ke pameran. Akan tetapi untuk event yang terakhir, yaitu pameran masih sangat jarang. Kalaupun ada harus bersaing dengan batik kelas premium. Saya pikir ini salah satu kendala bagi pengrajin batik skala kecil seperti batik Terogong.
Dan, cara yang tepat untuk mengatasi masalah ini, yaitu menggelar event-event batik. Event bisa dilakukan dengan menggandeng pihak swasta ataupun negri. Pokoknya segala event yang berkaitan dengan mempopulerkan batik dibuat sebanyak mungkin. Toh, semua dimaksudkan untuk mengangkat nama batik dari dikenal menjadi semakin terkenal. Syukur-syukur event tersebut bisa digelar di mancanegara atau ambil kesempatan bila ada acara di kota-kota besar. Seperti Jakarta sendiri misalnya, jarang sekali ada event yang menggelar tentang batik secara spesial.
- Inovasi alat membatik
Kunjungan saya ke Kampung Batik Terogong saya manfaatkan semaksimal mungkin. Saya baru tahu kalau di dekat tempat tinggal ada kampung batik hanya berjarak kurang dari 10 kilometer. Penasaran, saya langsung datangi kampung itu karena batik yang dibuatnya adalah batik Betawi. Sebenarnya di Jakarta, punya dua kampung batik yang sudah lebih dulu terkenal, namanya Kampung Batik Palbatu, wilayah Manggarai. Kampung batik Terogong ini berbeda dengan Palbatu. Batik Terogong lebih mengkhususkan pada batik Betawi sedangkan batik Palbatu semua batik dari tiap daerah ada di sana.
Buat saya, tidak pernah ada kata bosan melihat corak dan warna batik, hampir semua saya sukai. Tapi, untuk kali ini saya ingin mempunyai batik Betawi yang kebetulan emang belum punya. Nah, jadilah saya berkunjung ke batik Terogong dengan maksud belanja sekaligus melihat pengerjaannya. Sayangnya ketika saya kesana sedang tidak ada pengerjaan batik menulis yang ada pengerjaan batik cap. Dengan ditemani staff yang masih kerabat dekat dengan Bu Lela, saya langsung ke tempat pengerjaan batik cap.
Tempatnya bukan sebuah ruangan, hanya tanah kosong disekat dengan triplek di sisi pengecapan, sedangkan sisi lain dibiarkan terbuka. Lantainyapun masih tanah, waktu saya masuk hanya ada dua orang karyawan yang sedang bekerja. Satu orang sedang mengecap dan satunya lagi bagian pewarnaan.
Alat yang digunakan juga sangat sederhana, ada dua buah kompor minyak tanah di atasnya masih terdapat wajan kecil. Saya menghampiri Pak Yoyo yang sedang mengecap. Setelah alat cap dicelup ke dalam larutan malam—sebagai tinta, dengan perlahan Pak Yoyo mengecapnya di atas selembar kain putih.
Berbeda dengan karyawan yang satunya—lupa namanya siapa, sedang melakukan pewarnaan. Alat sederhana itu digoyang turun naik mengaliri kain yang ada di dalamnya. Entahlah apa nama alat pewarnaan ini, tapi sejauh saya melihatnya sangat sederhana. Setelah melalui pewarnaan, batik dijemur dengan cara dikelantang sampai kering. Semua itu saya perhatikan dengan seksama, sambil mengingat ketika saya berkunjung ke Sendang Agung, Sleman melihat cara pencelupan batik—belakangan saya tahu bernama batik Shibori artinya celup.
Dari situ saya membayangkan sekaligus bertanya dalam hati adakah alat yang lebih canggih lagi untuk melakukan semua itu ? Alat yang saya maksudkan di sini bukan alat batik tulis tapi batik cap. Dalam bayangan saya jika semua dikerjakan dengan alat yang lebih canggih sekalipun dalam skala rumahan bisa menghasilkan batik berlembar-lembar. Saya rasa di sinilah inovasi itu diperlukan. Bukan itu saja, untuk motifnya sendiri mungkin bisa dikerjakan dengan bantuan sofware komputer. Tentu saja tanpa meninggalkan motif utama. Sepertinya sudah saatnya batik rumahan difasilitasi dengan alat kekinian dan kemudahan. Bukankah begitu ?
Tentang Jogja International Batik Biennale ( JIBB 2016 )
Waktu saya sedang bewe alias blogwalking, saya menemukan postingan dari teman blogger Jogja. Dalam postingannya menginformasikan soal event besar yang akan digelar di kota gudeg tersebut. Event yang digelar adalah Jogja International Batik Biennale ( JIBB 2016 ). Saya langsung tahu kalau itu event batik, sebagai pecinta batik tentu saja saya kepincut dengan event itu. Demi mendapatkan info terupdate saya langsung meluncur ke media sosial JIBB dan webnya.
JIBB merupakan ajang yang pertama kalinya diadakan sebagai bukti atas predikat yang disandang Jogja sebagai World Batik City, kalau diterjemahkan Jogja Sebagai Kota Batik Dunia. Tahukah kamu, pada tahun 2014 Jogja memperoleh predikat itu dari World Craft Council ( WCC ). Predikat ini semakin mengukuhkan bahwa Jogja telah sah menjadi kiblatnya batik dunia. Waah…meskipun saya bukan warga Jogja tapi kecipratan bangga juga nih. Ajang yang digelar per dua tahun ini akan menjadi gelaran batik terbesar di tanah air. Bertempat di Jogja Expo Center ( JEC ), JIBB akan digelar selama 5 hari berturut-turut mulai dari tanggal 12 – 16 Oktober mendatang.
Adapun tagline yang diusung adalah “Traditions for Innovations”dengan maksud untuk mendorong gairah ekonomi dan terus berinovasi. Asli, ini acara keren banget kalau di Jakarta saya sudah pasti datang. Apalagi taglinenya Tradisi dan Inovasi, pasti akan banyak ilmu dan penemuan baru tentang batik yang disebar. Belom pelaksanaan aja saya sudah bisa tebak, kalau ternyata batik juga sudah mulai berinovasi. Nah, inovasinya apa dan bagaimana belum kebayang sama sekali, kecuali soal alat cap yang sudah saya singgung di atas.
Saya jadi membayangkan kalau inovasinya itu perpaduan antara tradisional dan modern. Perpaduan yang tertuang dalam motif batik, maka akan lahir batik semi modern. Hmmm…batik semi modern ? Boleh juga tuh, misalnya aja batik Betawi dengan motif ondel-ondel dan gawai alias gadget, keren kali yak. Menurut saya sih, inovasi yang berbau tradisi boleh aja asal jangan kebablasan.
Jangan sampai hanya gara-gara mau beda dengan yang sudah ada malah jadi ngawur. Menciptakan motif-motif baru atau sesuai dengan tema bisa menjadi inovasi batik. Intinya jangan sampai rasa tradisionalnya menghilang, memang butuh pemikiran matang sih, tapi bukan hal yang sulit juga. Dalam dunia ekonomi, setiap produk memang dituntut untuk terus berinovasi. Karena adakalanya konsumen jenuh jika yang dijual itu-itu terus. Butuh pembaruan tapi harus tetap mempertahankan ciri khasnya masing-masing.
Inovasi bukan hanya terpaku pada produk saja, dalam hal pemasaran juga bisa. Apalagi di jaman serba cepat begini, pemasaran bisa memanfaatkan media sosial seperti Fanpage dan Instagram. Contohnya Omah Colet, yang menjual mukena dan gamis batik colet dengan memanfaatkan media Instagram.
Event JIBB ini bener-bener bikin saya mupeng karena nggak bisa menyaksikan betapa batik telah menjadi tuan rumah di negri sendiri. Apalagi pas saya baca rundown acaranya, ada Public Lectures, Batik Exhibition, Batik Symposium, Batik Workshop Day, Batik Competition, Batik Fashion Show dan World Heritage Tour. Semua tentang batik akan dikupas tuntas dalam gelaran JIBB ini.
Akhirnya saya cuma bisa bilang kalau kebanggaan saya semakin bertambah-tambah. Saya percaya kalau batik bisa menjadikan Indonesia lebih terkenal dan maju. Perhelatan JIBB ini akan membuka mata dunia International, kalau Indonesia memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan. Warisan leluhur yang satu ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, harus ada inovasi baru yang akan tetap dikenang dan dikenal sepanjang masa. @etybudiharjo